Selasa, 20 Oktober 2015

Sampai bertemu kembali orang yang paling kami rindukan

Posted by Draft at 19.39 0 comments
Kamis, 24 September 2015

Hari itu bertepatan dengan hari idul adha.....
Risma masih di Malang, dan Risma dapat kabar kalau Bapa ke Padang.
Risma pengen banget telpon Bapa, cuma pengen bilang 'Bapa hati-hati ya', tapi Risma tunda dengan alasan nanti aja Risma telponnya kalau Bapa udah sampe sana.
Dan Risma ga tau, kalau Risma melewatkan kesempatan denger suara Bapa buat yang terakhir kalinya

Sore itu jadi sore paling berat buat Risma, sore paling menakutkan,
sore itu Mama telpon Risma, suaranya berat, dalam dan putus asa. Risma ga pernah denger suara Mama sesedih itu.
Sore itu hal yang paling kami takuti terjadi.

Bapa pergi begitu cepat, begitu mendadak dan tiba-tiba. Kami belum sempat bahagiain Bapa, Pa....

Risma gak tau apa yang akan terjadi selanjutnya, gimana Risma menjalani hidup Risma, gimana Mama dan ade-ade nantinya tanpa Bapa. Bapa tau, kita bukan siapa-siapa tanpa Bapa.

Butuh waktu cukup lama buat Risma pulang ke Rumah. Selama di perjalanan Risma berdoa kalau Bapa masih bisa selamat, karena Mama ga bilang kalau Bapa udah pergi, Mama cuma bilang kalau Risma harus pulang dan doain Bapa.
Kalau bisa dibilang merengek, Risma udah merengek sama Allah, merengek Risma masih pengen hidup sama Bapa.

Sampai pada satu keadaan Risma tau yang Bapa inginkan adalah ikhlasnya Risma. Berat, tapi Risma ga mau nahan Bapa buat kembali pada-Nya.

00.30......
Risma sampai di rumah, bisa sesakit dan sesesak ini dada Risma hanya karena liat bendera kuning di depan Rumah. Risma lari ke pelukan Mama dan nangis seada-adanya. Gak ada tetesan air mata yang keluar dari Mama, tapi Risma tau hati Mama jauh lebih sakit, jauh lebih menderita daripada siapapun yang ada di ruangan itu. Risma harus gimana, Pa? Risma ga akan kuat nantinya, Risma belum bisa dan belum siap

Risma hampiri Bapa, Risma buka kain yang nutupin Bapa. Sungguh Risma pengen peluk dan cium Bapa saat itu tapi Risma tau, tetesan air aja bisa bikin Bapa sakit, Risma gak mau Bapa ngerasain sakit sedikitpun.

Wajah tenang dan damai Bapa masih jelas Risma ingat, karena cuma itu yang bisa menguatkan Risma sekarang dan untuk seterusnya.
Bagaimana Risma boleh sedih sementara Risma lihat Bapa begitu bahagia..... Bapa tenang, damai, sejuk, Bapa tidur dengan tersenyum. Bapa tau gak, bahkan selama 23 tahun Risma hidup dan liat Bapa, hari itu, hari dimana Risma liat Bapa dalam keadaan paling tampan, Demi Allah Risma ga boong. Dan hal itu lah yang kasih Risma kekuatan.

Waktu Bapa masih ada, Bapa orang yang paling Risma banggakan dan saat Bapa pergi, Risma justru semakin bangga dan bersyukur punya ayah kayak Bapa.

Bapa pergi dengan cara yang baik, meski tanpa didampingi istri dan anak-anaknya. Sebelum pergi Bapa sempat mengucapkan kalimat syahadat, pergi dengan wajah yang damai, bukan karena kecelakaan seperti yang Risma takuti, pergi dengan merasakan sakit yang hanya sebentar, dan disitulah kami yakin kalau ini memang sudah waktunya.
Meski Mama dan kami anak-anakmu gak ada saat Bapa pergi, inshaAllah doa-doa kami selalu mengiringi jalannya Bapa sampai kita bertemu lagi nanti.

Risma sayang Bapa, Risma kangen Bapa, tapi Risma akan sabar nunggu hari dimana nanti kita berkumpul lagi dalam satu keluarga yang utuh di surganya Allah SWT.

Senin, 13 Januari 2014

Kisah dari Rumah Kambira

Posted by Draft at 09.42 1 comments
Pasti kalian bertanya-tanya apa yang gue tulis dengan judul diatas?
Gue gak bakal kepikiran sama judul kayak gitu, Kambira apa aja gue gak tau apaan. Jadi gini, tahun 2012 lalu gue coba-coba kirimin naskah cerpen kesalah satu penerbit buku yang lagi ngadain lomba menulis cerpen, singkat cerita gue gak menang. Iya ga usah sedih. Beberapa bulan kemudian gue dapet kiriman buku dari tempat yang mengadakan lomba itu. Isinya kumpulan-kumpulan cerpen yang jadi pemenang. Gue buka berharap ada cerpen gue, ga ada......

Jadi setelah hampir satu tahun itu buku ditangan gue, gue baru sempet baca isinya sekarang. satu judul paling depan, Kisah dari Rumah Kambira karyanya Faisal Oddang. 
Gue gak bermaksud apa-apa sih, gue cuma pengen sharing cerpen yang menurut gue bagus banget aja. Sebenernya gue gak terlalu suka baca cerpen, terlalu singkat haha tapi ini pengecualian. jadi ceritanya seperti ini, tanpa gue edit. Tapi maafkanlah kalau postingan kali ini panjang banget. SELAMAT MEMBACA


KISAH DARI RUMAH KAMBIRA*
by Faisal Oddang



*Kambira : Kuburan di Tana Toraja, bagi jenazah yang giginya belum tumbuh. dipercaya jenazah akan menyusu dan terpelihara didalam kuburan

Jika kau kembali, barangkali aku sudah dapat menemanimu berkeliling Toraja, memotret tongkonan, juga menyaksikan mappasilaga tedong (mengadu kerbau pada ritual rambu solo). Aku menunggumu disini, di rumahku. Kau menunggu disana-menungguku dewasa. katamu.
---------------

Pagi itu, kulihat kau bersama segerombol orang berbalut kabut pagi. Aku jatuh cinta padamu, umur kita kuduga tak jauh beda. kau diapit tongkonan (rumah adat khas Tana Toraja) dengan kamera yang gelayuti lehermu.Kau terus berjalan. satu dua langkah, kau akan berhenti; menyorot sudut-sudut kampungku dengan kameramu. Kau lelaki paling memikat dari segala yang pernah disasar mataku. sungguh. jaket parasut hitam itu nampak kontras dengan kulitmu. ada yang menyita perhatianku waktu itu. Matamu. Sepasang bola didalamnya seperti pijar neon, dan sebelumnya aku selalu merasa terkurung gelap.

ada sebuah cerita yang harus kau dengarkan. barangkali, hal ini akan membuatmu kembali menemuiku. Dengarlah!
Aku tidak boleh keluar rumah-melewati pintu ijuk. Ibu tak pernah membiarkanku, bahkan untuk menguntitmu. bisa saja kita membbuat pertemuan rahasia. Barangkali dibawah tongkonan, atau jalan setapak yang hanya dilalui setiap kali keluargaku melakukan rambu solo (prosesi pemakaman adat Tana Toraja). Kau tak perlu khawatir dijalan setapak itu tak kan ada orang yang mendapati kita.

Sejak kelahiranku belum pernah sekalipun ritual pemakaman itu dilakukan. sampai saat ini, mayat kakek dan istri-istrinya, didalam tongkonan kami. Jika mengira kami tak punya biaya walau hanya membeli seekor kerbau, kau benar. Itu hanya seekor, belum puluhan, atau ratusan. Sejak kepergian tanpa janji pulang oleh ayah, aku semakin sering hanyut di sepasang sungai diwajah ibu. Itu tentang lauk, dan nasi yang bersekutu, setiap hari menyiksa ibu. Kau tak usah iba, apalagi membantu, tidak boleh. Ayah hanya meninggalkan tongkonan dan luka, tanpa janji. Pula meninggalkan aku. Semalam setelah aku lahir. Ayah juga meninggalkan amarah, menjadi api-membakar bu. Bagaimana, sudikah, kau bertemu disana? dijalan setapak. Atau dirumahku? Terlambat, kau terlanjur dewasa.

aku mengingat sebuah peristiwa. Ketika suatu pagi aku tak sengaja menangkap tatapanmu dengan mataku. walau aku yakin kau tidak melihatku. Disana, lagi-lagi aku terkagum-kagum. Tapi, sayup kudengar, hari itu adalah hari terakhirmu di Toraja, kau akan pulang. tiba-tiba aku merasa segera akan ada yang hilang. Aku ingin keluar rumah, mengajakmu berkenalan, juga mengenalkanmu pada ibuku. Lagi-lagi aku tidak bisa. aku hanya dapat melihatmu dari jauh, dari dalam rumah yang memenjarakanku.

--------------------------

"Kita rupanya bertemu disini"
"Kita? Kau siapa?"
"Aku, yang selalu menangkap tubuhmu dengan mata" kataku
"Kapan? aku tidak pernah sadar, tidak pernah tahu" kau nampak kebingungan.
"sejak kau datang ke kampung ini, aku memerhatikanmu dari jauh" tambahku
Kau bertambah bingung. Aku bercerita panjamg lebar, dan kita saling mengenal. Menukar tanya, menukar tatapan. dan akhirnya kita mulai akrab. tapi esok, kau akan pulang.

aku bertambah merasa kehilangan ketika pagi, dan kau tidak ada, bersalahlah malam yang memberi mimpi. Walau begitu, aku menganggapnya nyata. Maka itu, aku bercerita, tentangku, dan segala, semoga kau mendengar., dan ingin kembali, walau dimimpi.

Masih ada sebuah peristiwa yang harus kau tahu. Tentang kepergian ayah. aku menduga ayah tak mencintai ibu. atau ibu yang mengusir ayah. bisa pula, mereka sepakat membuatku seperti ini. Namun, waktu ternyata menjawab; dugaanku salah. ada masalah yang timbul karena aku lahir perempuan. ayah marah besar. ayah memaki Tuhan. ayah mengasari ibu, bahkan menumpahkan makanan didekat mayat kakek. kira-kira begini kisahnya;

"ini tidak boleh terjadi, dia bukan anakku," ayah berteriak ke langit
"terimalah, ini sudah digariskan-Nya" ibu menenangkan-memeluk ayah dari belakang
"lepaskan!" ibu tersungkur, " mengapa harus lahir perempuan? kau tidak pintar mengandung"

tubuh ibu melebam. matanya sembab. kantung matanya melar. aku mengerti sekarang. bagi ayah, anak perempuan akan menambah beban keluarga. piluku kian memuncak. aku sadar, kelak, pun aku dewasa, aku tidak bisa membantu upacara rambu solo. tidak bisa mencari nafkah. malah akan menyusahkan, kelak aku meninggal. Bertambah lagi kerbau yang harus dibeli karenaku. aku pembawa masalah.
---------------------------

Sebelum kau kembali ke Toraja, kembali kau harus mendengarku. Ini barangkali ceritaku yang terakhir. Aku mohon kau mengerti. mungkin jika kau memutuskan mencintaiku, kau harus kaya. Tapi....sudahlah, aku ingin bercerita saja.

Tidak cukup seminggu kepergian ayah, ibu meninggal. Urat di nadinya memuncratkan darah sangat banyak. dan sebuah pisau dapur tergeletak disampingnya. Berlumuran darah. Sebenarnya sehari setelah ayah pergi, aku telah dirawat dan menyusu di ibu yang lain. Bukan ibu yang telah merahim-kanku.
Kau jika kesini, akan kusebutkan nama ayahku. aku ingin kau membantu menyumpahi lelaki tak bertanggung jawab itu.

sebelum ceritaku selesai, akan kuterakan perihal yang paling perih buatku. Semoga juga buatmu. Aku mengingatnya sampai sekarang. Diusiaku yang genap dua puluh tahun, beberapa minggu lagi. Aku sudah cukup matang buat menikah. Tapi bagimu, aku bayi, mengapa? O, ya, ini tentang ibuku; ia memutuskan urat nadinya lantaran tak sanggup kehilangan ayah, juga aku......

kau tentu ingin bertanya; mengapa ibumu kehilangan kau?
dengarlah.............

Ayah pergi lantaran tak ingin diamuk warga. Bukan karena dia tidak mencintai ibu. Ia mengempaskanku, tatkala tahu aku perempuan. Aku merenggang nyawa, dan akhirnya dirawat ibu yang baru. Disini, di rumahku, aku bahagia. Di rumah kambira, tempatku meyusu-ibu pohon. Aku masih menunggu kau kembali, usiaku genap dua puluh tahun, aku sudah siap menikah. Tapi......, dimimpi itu kau empaskan perasaanku
"kau masih terlalu muda" kau mengelus rambut tipisku
"aku sudah dua puluh tahun"
"bohong, gigimu belum tumbuh"
Aku sadar, aku dirumah kambira, menyusu berpuluh-puluh tahun di ibu Tarra (pohon besar tempat membuat makam kambira)

Followers

 

From my Eyeglasses Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos